Mengenal Imam Muhammad Abu Zahrah
Dalam jejak pergulatan
keilmuan Islam, Mesir termasuk wilayah yang tidak pernah absen dalam melahirkan ulama dan pemikir di setiap masa. Sejak
abad pertama Hijriah, tercatat sudah lahir sosok Imam Laits bin Sa’ad, seorang ahli Hadis dan Fikih terkemuka di zamannya. Produktifitas ini berhasil
dipertahankan sampai era kontemporer sekarang, hingga tak ayal jika Mesir
mendapat predikat ‘kiblat ilmu’ dengan al-Azhar sebagai juru kuncinya. Tentu
semua ini tak lepas dari peran para ulama di sana yang terus kontinu menjaga
estafet perkembangan ilmu dalam dunia Islam. Salah satu di antara yang mempunyai peran besar ialah; Imam Muhammad Abu Zahrah.

Abu Zahrah kecil
memulai pendidikan di Kuttab (istilah orang Arab untuk menyebut surau
tempat anak-anak usia 5-6 tahun menghapal Alquran) hingga berhasil
menyelesaikan hapalannya pada usia 9 tahun. Kemudian ia melanjutkan jenjang
pendidikannya di Madrasah Awwaliyah, dan di sanalah ia mendapat pelajaran membaca
dan menulis yang lebih dalam. Kecintaannya
terhadap ilmu pengetahuan yang tidak terbatas, membuatnya tidak membeda-bedakan
dalam memilih ilmu yang akan dipelajari, sehingga ketika pindah ke Madrasah
Raqiyah, di samping belajar ilmu agama ia juga belajar ilmu-ilmu sipil seperti
Matematika, Geografi, Sosiologi dan lainnya.
Pada tahun 1913 M, Abu Zahrah mengikuti kegiatan
pengajian yang diselenggarakan di masjid Ahmadi di daerah Thanta. Sejak saat
itulah kecerdasan dan bakat keilmuannya mulai terlihat menonjol
dibandingkan teman-teman sebayanya. Tidak berhenti sampai di situ, ia pun
melanjutkan pendidikannya ke sekolah Lembaga Peradilan setelah berhasil meraih
nilai terbaik dalam seleksi masuk ke perguruan tersebut.
Kiprahnya dalam jabatan akademisi pun terbilang sangat cemerlang. Beliau
pernah menjabat sebagai pengajar di kuliah Ushuluddin al-Azhar, hingga diangkat
menjadi ketua Dekan Fakultas Syariah Islamiah di tempat yang sama. Puncaknya
pada tahun 1962 M beliau mendapat kehormatan untuk menjadi salah satu anggota Majma
al-Buhuts al-Islamiyah (Akademi Pengkajian Islam) di al-Azhar.
Ada sebuah analogi
menarik yang beliau sampaikan di akhir prakata kitabnya mengenai pahit manis perjalanan
hidup yang dilalui. Beliau mengibaratkan,
“tumbuhan sebelum memiliki akar yang kuat, ia akan hidup terlebih dahulu di
dalam sebuah biji. Namun bentuk tumbuhan di dalam biji tersebut sejatinya sudah
bisa dilihat jika menggunakan mikroskop. Begitu juga seseorang manusia yang
tumbuh. Masa awal tumbuhkembangnya akan menyimpan segala potensi yang ia miliki
di dalam dirinya, yang akan menjadi identitasnya kelak di masa depan”.
Melalui analoginya di
atas, beliau ingin menyampaikan bahwa ternyata semenjak di Kuttab Abu Zahrah
sudah merasakan dua factor penting yang terpendam dalam dirinya, ialah : pertama,
kebanggaannya terhadap pemikiran dan idealisme yang dimiliki, sampai terkadang
orang-orang banyak menyebutnya sebagai anak ngeyel ketika itu. Kedua,
dirinya sangat tidak suka hidup tertindas di bawah kezaliman yang ada di sekitarnya. Sehingga melalui
kesadaran atas karakter dasar yang dimilikinya, maka terbentuklah kepribadian Abu
Zahrah kelak yang cerdas, kritis, berani mengungkapkan kebenaran dan ulet
hingga mampu menghasilkan banyak karya sepanjang hidupnya.
Dengan segala teladan
yang ditinggalkan, beliau pun mengakhiri pengembaraan ilmunya pada Jumat petang tanggal 12 April 1974 di
rumahnya di Zaitun, Kairo ketika berusia 76 tahun. Beliau wafat dalam keadaan sedang memegang pena untuk menulis
tafsir Alquran surat an-Naml ayat 19 yang berbunyi, “maka tersenyumlah nabi
Sulaiman mendengar kata-kata semut itu, dan berdoa dengan berkata : Wahai Tuhanku,
karuniailah aku agar tetap bersyukur atas nikmat-Mu yang engkau berikan
kepadaku dan ibu bapakku. Dan supaya aku tetap mengerjakan amal shaleh yang
engkau ridai, dan masukanlah aku—dengan rahmat-Mu, ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh”.
Komentar
Posting Komentar