IDUL ADHA, CINTA DAN KEHAMBAAN
Oleh: Iin Suryaningsih
Idul Adha, selalu mengingatkan kita pada sebuah kisah yang maha
luar biasa. di abadikan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an, tentang nabi Ibrahim
AS, Siti Hajar dan putranya yaitu Ismail AS, yang memberikan kita pelajaran
tentang makna cinta dan kehambaan pada puncaknya yang tertinggi.
Ditinjau
dari segi maknanya, kata Idul Adha terdiri dari dua kata yang berasal dari
bahasa Arab. Kata pertama I’dul berasal dari kata ‘âda-ya’ûdu-awdatan wa ‘îdan yang memiliki arti kembali.
Sedangkan Adha berasal dari kata Adha-Yudhî-udhiyatan yang berarti berkorban. Dengan
demikian, Idul Adha adalah suatu perayaan yang dilakukan oleh umat sebagai
tekad untuk kembali kepada semangat pengorbanan.
Pengertian ini tentu sangat sederhana. Namun, jika kita kaji lebih jauh makna filosofis yang ada padanya akan kita dapati banyak hal mendasar dalam kehidupan kita. Bahwa kehidupan ini adalah jihad atau perjuangan (al hayâtu jihâdun), sedangkan setiap perjuangan memerlukan pengorbanan. Dengan demikian, sifat berkorban adalah sifat keharusan bagi setiap insan yang pada akhirnya memberikan kesadaran.
Sedangkan ketika kita tilik dari kata “kurban” yang lebih dikenal di kalangan muslim Indonesia, sesungguhnya juga berasal dari bahasa Arab “Qurbân” yang asalnya “Qaruba-yaqrabu-qurbun wa qurbân” yang artinya kedekatan yang sangat. Kata “qurbân” adalah bentuk tafdîl yang menunjukkan penguatan terhadap sifat yang dikandung dari kata tersebut. Dengan demikian, kurban adalah wujud kedekatan yang sangat tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan simbol penyembelihan hewan, seorang hamba diharapkan semakin dekat (qarîb) dengan Rabb-nya. Penyerahan pengorbanan dan tersimbahnya darah dari hewan adalah simbol penyerahan hidup seorang hamba kepada Rabbul ‘âlamîn sekaligus pembuktian dari ikrarnya: “Katakanlah: Seungguhnya shalatku, pengorbananku, hidup dan matiku adalah milik Allah, Rabb seluruh alam.” (Q.S. Al-An’am [06]: 162)
Pada akhirnya akan terpatri suatu hubungan yang dibangun di atas landasan“radhiyatun mardhiyâtun” yaitu seorang hamba yang memiliki jiwa yang ridha lagi diridhai oleh Allah SWT.
Penjelasan kejiwaan seperti ini, juga sejalan dengan makna lain yang dikandung oleh kata “Adha”, yang semakna dengan “Dhuha”. Dalam bahasa Arab, selain berarti pengorbanan, kata dhuha juga berarti waktu dimana matahari sedang menapaki jenjang awal dalam manerangi bumi yang sebelumnya diselimuti kegelapan. Artinya pengorbanan yang dilakukan seorang hamba yang beriman sesungguhnya juga merupakan mentari (penerang) jiwa dalam menapaki kehidupannya menuju alam kehidupan sejatinya yang lebih terang benderang.
قَدْ كَانَتْ
لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ
“Sesungguhnya telah
ada contoh teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama
dengan dia.” (QS. Al Mumtahanah: 4)
Minimal ada Empat
pelajaran yang terdapat dari kisah nabi Ibrahim as dan keluarganya:
Pesan Pertama: Berbaik sangka kepada Allah SWT
Di
dalam kitab; Anbiyaa
Allah (Nabi–Nabi
Allah) yang dikarang oleh Ahmad Bahjat beliau menjelaskan: Pada suatu hari,
Ibrahim AS terbangun dari tidurnya. Tiba-tiba dia memerintahkan kepada
istrinya, Siti Hajar, untuk mempersiapkan perjalanan dengan membawa bayinya.
Perempuan itu segera berkemas untuk melakukan perjalanan yang panjang. Pada
saat itu nabi Ismail masih bayi dan belum disapih.
Ibrahim
AS melangkahkan kaki menyusuri bumi yang penuh dengan pepohonan dan rerumputan,
sampai akhirnya tiba di padang sahara. Beliau terus berjalan hingga mencapai
pegunungan, kemudian masuk ke daerah jazirah Arab. Ibrahim menuju ke
sebuah lembah yang tidak di tumbuhi tanaman, tidak ada buah-buahan, tidak ada
pepohonan, tidak ada makanan, tidak ada minuman, tempat itu menunjukkan tidak
ada kehidupan di dalamnya.
Di
tempat itu beliau turun dari punggung hewan tunggangannya, kemudian menurunkan
istri dan anaknya. Setelah itu tanpa berkata-kata beliau meninggalkan istri dan
anaknya di sana. Mereka berdua hanya dibekali sekantung makanan dan sedikit air
yang tidak cukup untuk dua hari. Setelah melihat kiri dan kanan beliau
melangkah meninggalkan tempat itu.
Tentu
saja Siti hajar terperangah diperlakukan demikian, dia membuntuti suaminya dari
belakang sambil bertanya“Ibrahim hendak pergi ke manakah engkau?” Apakah engkau
akan meninggalkan kami di lembah yang tidak ada sesuatu apapun ini?
Ibrahim
AS tidak menjawab pertanyaan istrinya. Beliau terus saja berjalan, Siti hajar
kembali mengulangi pertanyaannya, tetapi beliau tetap membisu. Akhirnya Siti
hajar paham bahwa suaminya pergi bukan karena kemauannya sendiri. Dia mengerti
bahwa Allah memerintahkan suaminya untuk pergi. Maka kemudian dia
bertanya,“apakah Allah yang memerintahkanmu untuk pergi meninggalkan kami?
Ibrahim menjawab, “benar“. Kemudian istri yang shalihah dan beriman itu
berkata,” kami tidak akan tersia-siakan selagi Allah bersama kami. Dia-lah yang
telah memerintahkan engkau pergi. Kemudian Ibrahim terus berjalan meninggalkan
mereka.
Lihatlah,
bagaimana nabi Ibrahim dan Siti hajar, mampu berbaik sangka kepada Allah SWT
mereka meyakini bahwa selagi mereka bersama Allah, maka tidak akan ada yang
menyengsarakannya, tidak akan ada yang dapat mencelakainya, tidak akan ada yang
dapat melukainya.
Bila
kita lihat banyaknya manusia yang frustasi dalam kehidupan ini atau banyaknya
manusia sengsara bukan karena sedikitnya nikmat yang Allah berikan kepada
mereka akan tetapi karena sedikitnya husnu
dzon (berbaik sangka) kepada
kebaikan Allah, Padahal nikmat yang Allah berikan lebih banyak dari pada
siksanya. Oleh karena itu kita harus berbaik sangka kepada Allah karena Allah
menjelaskan dalam hadits qudsi bahwa Dia sesuai prasangka hambanya;
Dari
Abu Hurairah RA berkata, bersabda Rasulullah SAW: Allah SWT berfirman: “Aku
tergantung pada prasangka hamba-Ku, dan Aku bersamanya jika ia mengingat-Ku;
jika ia mengingat-Ku dalam jiwanya, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku; dan
jika ia mengingat-Ku dalam lintasan pikirannya, niscaya Aku akan mengingat-Nya
dalam pikirannya kebaikan darinya (amal-amalnya); dan jika ia mendekat kepada-ku
setapak, maka aku akan mendekatkannya kepada-Ku sehasta; jika ia mendekat
kepada-ku sehasta, maka aku akan mendekatkannya kepada-ku sedepa; dan jika ia
mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan menghampirinya dengan berlari. (Bukhari dan Muslim).
Kita
harus belajar kepada Siti hajar walaupun dia seorang wanita yang baru mempunyai
anak bayi, kemudian di tinggalkan suaminya di padang pasir yang gersang, tetapi
dia yakin jika ini adalah perintah Allah maka Allah tidak akan
menyia-nyiakannya. Allah pasti akan membantunya, kisah ini bukan hanya untuk
Siti hajar saja, kisah ini bukan untuk zaman itu saja, akan tetapi kisah ini
akan terus berulang pada setiap zaman bahwa Allah SWT tidak akan menyia-nyiakan
hambanya yang senantiasa berbaik sangka kepada-Nya dalam segala hal.
Pelajaran kedua: Mencari rezeki yang
halal
Setelah
Ibrahim AS meninggalkan istri dan anaknya untuk kembali meneruskan
perjuangannya berdakwah kepada Allah SWT. Siti Hajar menyusui Ismail sementara
dia sendiri mulai merasa kehausan. Panas matahari saat itu menyengat sehingga
terasa begitu mengeringkan tenggorokan. Setelah dua hari, air yang menjadi
perbekalanpun habis, air susunya pun kering. Siti hajar dan Ismail mulai
kehausan. Pada waktu yang bersamaan, makanan pun habis, kegelisahan dan
kekhawatiran membayangi Siti hajar.
Ismail
mulai menangis karena kehausan. Kemudian sang ibu meninggalkannya sendirian untuk
mencari air. Dengan berlari–lari kecil dia sampai di kaki bukit Shafa. Kemudian
dia naik ke atas bukit itu. Di taruhnya kedua telapak tangannya di kening untuk
melindungi pandangan matanya dari sinar matahari, kemudian dia menengok ke sana
kemari, mencari sumur, manusia, kafilah atau berita. Namun tidak ada sesuatu
pun yang tertangkap pandangan matanya. Maka dia bergegas turun dari bukit Shafa
dan berlari–lari kecil sampai di bukit Marwa. Dia naik ke atas bukit itu,
barangkali dari sana dia melihat seseorang, tetapi tidak ada seorang pun.
Hajar
turun dari bukit Marwa untuk menengok bayinya. Dia mendapati Ismail terus
menangis tampaknya sang bayi benar-benar kehausan. Melihat anaknya seperti itu,
dengan bingung dia kembali ke bukit Shafa dan naik ke atasnya. Kemudian dia ke
bukit Marwa dan naik ke atasnya, Siti hajar bolak–balik antara dua bukit, Shafa
dan Marwa, sebanyak tujuh kali.
Ada
rahasia yang jarang di kupas dari kejadian ini yaitu kesungguhan Siti hajar
dalam mencari air, di keluarkan segala tenaganya bolak balik dari Shafa dan
Marwa, walaupun bolak balik dari Shafa dan Marwa belum mendapatkan air dia
terus berusaha. Walaupun akhirnya air itu ada di dekat anaknya sendiri. Ini
memberikan pelajaran kepada kita untuk bersungguh-sungguh dalam menjemput
rezeki dengan mengeluarkan segala kemampuan yang kita miliki karena Kita di
perintahkan bukan Cuma melihat hasil tapi juga usaha dan tenaga yang kita
keluarkan, Rasulullah SAW sangat mencintai orang-orang yang bekerja keras.
Diriwayatkan
bahwa suatu ketika Rasulullah berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari.
Ketika itu Rasulullah melihat tangan Sa’ad yang melepuh, kulitnya gosong
kehitaman seperti lama terpanggang matahari. Rasulullah bertanya, ‘Kenapa
tanganmu ?’Sa’ad menjawab, ‘ Wahai Rasulullah, tanganku seperti ini karena aku
mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi
tanggunganku,’Seketika itu, Rasulullah mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya
seraya berkata, “Inilah tangan yang tidak pernah tersentuh api neraka”
Pelajaran yang ke
tiga: Berkurban untuk Allah SWT
Pada tahap inilah kebesaran cinta dan kehambaan seorang kholilullah
benar-benar di uji. Mulai dari jiwa dermawan Ibrahim saat itu, Allah SWT
menguji atas ucapan yang keluar dari lisanNya bahwa “Jika saja aku di karuniai
seorang putra dan Allah SWT menginginkannya, niscaya aku akan memberikannya
sebagai tanda cintaku kepadaNya”.
Berlalunya
masa dan kian bergantinya musim, Allah SWT mengabulkan doa Ibrahim AS dengan
mengkaruniakannya seorang putra terlahir dari rahim istrinya, Siti Hajar yang
kemudian di beri nama Ismail. Semakin hari, tiada masa yang di jalani oleh
Ibrahim dan istrinya, kecuali sangat mencintai sang putra yang tumbuh kian
besar, cerdas dan shaleh. Sampai pada suatu malam yang allah SWT tentukan,
hadirlah sebuah mimpi dalam tidur Ibrahim bahwa Allah SWT memintanya untuk
menyembelih putra tercintanya itu sebagai persembahan rasa kehambaan dirinya
terhadap allah SWT. Ibrahim pun tersentak akan mimpi yang tidak pernah
terbayangkan sedemikian beratnya itu.
Merasa tak sanggup untuk mengutarakan isi pesan tersebut,
Ibrahim hanya mampu berserah diri dalam setiap doa yang ia panjatkan, dengan
selalu meminta petunjukNya, agar terhindar dari godaan syetan. Kali kedua mimpi
itupun menghampiri Ibrahim, dan terasa lebih jelas dari sebelumnya. Dan dalam
suatu kesempatan, ia utarakan mimpi tersebut kepada putranya sekedar ingin
mengetahui pendapatnya tanggapan
putranya itu.
Sejak
Ismail bertambah besar, hati Ibrahim AS memang tertambat kuat kepada putranya.
Tidak mengherankan karena Ismail hadir di kala usia Nabi Ibrahim sudah tua.
Itulah sebabnya beliau sangat mencintainya. Namun Allah hendak menguji
kecintaan Ibrahim AS dengan ujian yang besar disebabkan cintanya itu.
“Maka tatkala anak itu
sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai
anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
pikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar”. (QS. Ash Shaaffat: 102 )
Sangat
mengejutkan Ibrahim saat mendengar jawaban sang putra yang sangat jelas di
abadikan oleh Allah dalam ayat di atas,tak bisa terbayangkan, anak seusia Ismail
mampu menangkap pesan tersirat dari Allah SWT melalui ayahnya itu, dan bahkan
mampu menerimanya dengan tanpa ragu.
Tiba
saatnya perintah allah SWT ditunaikan, kedua hamba shaleh inipun mantap untuk
berserah diri pada takdir yang akan dituliskan untuknya. Bermacam godaan datang
kepada mereka untuk menggagalkan prosesi tersebut, namun kehambaan dan
kecintaan yang terpatri dalam hati mereka jauh lebih kuat dari apapun. Saat
pisau hendak menyentuh leher sang putra, seraya bertakbir.. Ibrahim pun siap
menyembelih putranya, seketika itu pula Allah SWT memerintahkan malaikat untuk
menukar ismail dengan domba, yang kemudian tersembelih sebagai kurban, Allahu
akbar.
Pelajaran keempat
adalah Mendidik Keluarga
Nabi
Ismail tidak akan menjadi anak yang penyabar jika tidak mendapat pendidikan
dari ibunya dan Siti hajar tidak akan menjadi seorang yang penyabar jika tidak
di didik oleh nabi Ibrahim AS. Dan nabi Ibrahim AS tidak akan dapat sabar jika
tidak didikan dari Allah SWT melalui wahyuNya.
Seorang
anak dalam perkembangannya membutuhkan proses yang panjang, maka peran orang
tua dalam membentuk perilaku yang berakhlaq mulia sangat dibutuhkan, perhatian
sempurna kepada anak semenjak dari masa mengandung, melahirkan hingga sampai
masa Kewajiban ini diberikan di pundak orang tua oleh agama dan hukum
masyarakat. Karena seseorang yang tidak mau memperhatikan pendidikan anak
dianggap orang yang mengkhianati amanah Allah. Sebagian ahli ilmu mengatakan
bahwa Allah SWT. Pada hari kiamat nanti akan meminta pertanggungjawaban setiap
orang tua tentang perlakuan mereka kepada anaknya.
Empat
tahap pelajaran yang Allah berikan kepada kita melalui perjalanan nabi Ibrahim
AS beserta keluarganya, menunjukkan betapa tidak mudah memperlakukan nilai
cinta dan kehambaan kita kepada allah SWT, karena Allah senatiasa akan menguji
setiap langkah kita, mulai dari yang termudah sampai pada titik yang terberat.
Maka sejarah Ibrahim dengan keluarganya ini menjadi salah satu yang terpenting
sehingga Allah mengabadikannya dalam al-Qur’an, sebagai salah satu keluarga
yang menjadi teladan bagi kaum muslimin.
Moment
penyembelihan Ismail saat itu, di anggap sebagai wujud kehambaan tertinggi bagi
Ibrahim sekeluarga karena mampu melewati segala godaan dan ujian yang maha
berat, sebelum akhirnya mereka tau bahwa itu semua adalah bagian dari rencana
allah SWT untuk menaikan derajatnya sebagai kekasih Allah. Dan saat yang sama
pula, nilai kehambaan kita kepada Allah mampu di wujudkan dengan mengulang
momen tersebut dalam idul adha di tiap tahunnya. Penyembelihan hewan kurban
adalah symbol dari ketakwaan kita kepada Allah juga meningkatkan jiwa sosial
kita terhadap sesama untuk saling berbagi, dan di harapkan rasa cinta tersebut
senantiasa ada dalam hati kita kapan dan di manapun serta dalam kondisi seperti
apapun itu, sebagaimana bayi yang terlahir suci dan tidak berdaya, butuh tangan
untuk menopangnya, butuh cinta untuk membuatnya tumbuh bahagia, seperti itulah
kita semua hidup dalam kebersaman, harus terbiasa terus membantu satu sama
lain.
Maka
dalam menyambut hari besar seperti yang kita kenal sebagai idul adha saat ini,
umat muslim dari segala penjuru dunia, berbondong-bondong mengunjungi baitullah
untuk melukiskan sejarah diri dan keluarganya berada di tempat terjadinya
sebuah proses maha besar Ibrahim as dengan keluarganya dengan menjalankan semua
ritual ibadah yang telah allah patenkan menjadi syariat agama kita yaitu haji
dan umroh. Sedangkan kita yang berada di tanah air, turut serta berbagi
kebahagiaan dengan dilaksanakannya kurban di berbagai tempat dan berkumpul
bersama kerabat serta handai taulan.
Komentar
Posting Komentar